Beriman adalah syarat penting dalam menjadi muslim, tanpa iman, keislaman orang tersebut perlu dipertanyakan. Dari itu muslim harusnya belajar tentang Tuhan dan Keimanan agar bisa disebut beriman.
Lantas bagaimana kita tahu sudah beriman atau belum? Untuk menjawab itu, perlu kiranya kita memahami apa itu iman, dan bagaimana proses terbentuknya iman dalam diri seseorang.
Iman dalam bahasa Arab memiliki arti pengetahuan, percaya dan yakin tanpa keraguan. Dengan demikian, iman adalah kepercayaan yang teguh yang timbul akibat pengetahuan dan keyakinan. Adapun orang yang mengetahui dan percaya pada Allah disebut dengan Mukmin.
Kalau kita cermati kembali makna iman tersebut, dapat dikatakan bahwa proses terbentuknya iman dalam diri seseorang itu melalui 2 tahap, diantaranya:
- Didahului Oleh Pengetahuan Tentang Tuhan
Artinya, bahwa iman itu dapat diperoleh lewat proses berpikir, perenungan mendalam, survey atau penelitian terhadap alam semesta.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata)”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Q.S. Ali Imran:190-191).
Dengan demikian, iman seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan diasah dan dipertebal dengan cara terus-menerus menggali rahasia kekuasaan Allah yang tersedia di alam semesta (burhan kauniyah), di samping selalu taat, takwa dan beribadah kepadaNya.
Kisah Nabi Nuh AS berupaya keras mengajak putranya untuk ikut menaiki bahtera. Namun putranya itu membangkang. Seperti dalam Al-Quran Surat Huud Ayat 42-46:
وَهِىَ تَجۡرِىۡ بِهِمۡ فِىۡ مَوۡجٍ كَالۡجِبَالِ وَنَادٰى نُوۡحُ اۨبۡنَهٗ وَكَانَ فِىۡ مَعۡزِلٍ يّٰبُنَىَّ ارۡكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنۡ مَّعَ الۡكٰفِرِيۡنَ
قَالَ سَاٰوِىۡۤ اِلٰى جَبَلٍ يَّعۡصِمُنِىۡ مِنَ الۡمَآءِؕ قَالَ لَا عَاصِمَ الۡيَوۡمَ مِنۡ اَمۡرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنۡ رَّحِمَۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا الۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ الۡمُغۡرَقِيۡنَ
وَقِيۡلَ يٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِىۡ مَآءَكِ وَيٰسَمَآءُ اَقۡلِعِىۡ وَغِيۡضَ الۡمَآءُ وَقُضِىَ الۡاَمۡرُ وَاسۡتَوَتۡ عَلَى الۡجُوۡدِىِّ وَقِيۡلَ بُعۡدًا لِّـلۡقَوۡمِ الظّٰلِمِيۡنَ
وَنَادٰى نُوۡحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابۡنِىۡ مِنۡ اَهۡلِىۡ وَاِنَّ وَعۡدَكَ الۡحَـقُّ وَاَنۡتَ اَحۡكَمُ الۡحٰكِمِيۡنَ
قَالَ يٰـنُوۡحُ اِنَّهٗ لَـيۡسَ مِنۡ اَهۡلِكَ ۚاِنَّهٗ عَمَلٌ غَيۡرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسۡــَٔــلۡنِ مَا لَـيۡسَ لَـكَ بِهٖ عِلۡمٌ ؕ اِنِّىۡۤ اَعِظُكَ اَنۡ تَكُوۡنَ مِنَ الۡجٰهِلِيۡ
Demikian pula dengan kisah Nabi Musa AS yang semasa kecilnya diasuh dalam lingkungan keluarga Fir’aun. Firman Allah dalam Al-Quran Surat al-Qashash Ayat 7-8:
وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ ۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ
فَٱلْتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا ۗ إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا۟ خَٰطِـِٔينَ
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan keluarga dan masyarakat serta pendidikan yang ditempuh oleh seseorang membawa pengaruh bagi tingkat perkembangan pembentukan iman seseorang.
- Timbulnya Sikap Percaya Kepada Allah
Meskipun kepercayaan pada tahap ini masih labil, tergantung pada seberapa banyak pengetahuan tentang Allah dan upaya kontemplasinya terhadap alam semesta tersebut, namun iman pada tahap ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya pengetahuan yang diperoleh atau pengalaman yang dijalani.
Kadang-kadang muncul keraguan dalam dirinya, namun ketika proses pencarian tersebut berlanjut, sedikit demi sedikit keraguan itu akan hilang lalu berubah pada terbentuknya tahap KETIGA, yakni yakin tanpa dibayangi oleh sikap ragu.
Ash-Shawabu Minallah